Life Before Internet

Do you remember life before the internet?

Sebagai generasi milenial, masa-masa sebelum internet menjadi bagian dari kehidupan masih jelas dalam ingatan saya. Meskipun demikian, saya sering merasa heran sekaligus tidak percaya bahwa dulu, tanpa internet, kehidupan bisa berjalan baik-baik saja. Rasa bosan dan jenuh hampir tidak pernah saya alami dan saya tidak merasa kekurangan hiburan.

Pada masa sekolah saya tidak memiliki komputer di rumah. Kegiatan belajar mengajar di sekolah dilakukan di ruang kelas, materi tersedia melalui buku pelajaran dan catatan dari guru yang ditulis di papan tulis. Kami mendengarkan lalu membuat salinan di buku tulis. Pekerjaan Rumah (PR) dan ujian dilakukan secara manual, menulis merupakan kegiatan yang tidak lepas dari sekolah.

Majalah remaja dan novel menjadi hiburan bagi saya saat itu. Untuk menghemat uang saku, maka alih-alih membeli, saya meminjam bahan bacaan dari perpustakaan sekolah atau tempat penyewaan buku. Kadang-kadang saja saat ada uang lebih, saya membeli majalah remaja di kios koran. Supaya hemat, seringkali saya membeli edisi majalah yang sudah agak lama karena harganya sudah dikorting separuh. Yang paling sering saya lakukan adalah mengumpulkan pin up atau poster pemain bola atau boybands dari majalah lalu menempelkannya di dinding kamar atau meja belajar.

Selain membaca, saya juga senang mendengarkan musik. Dari radio atau pun televisi, saya bisa mengetahui lagu-lagu dan artis mana saja yang sedang naik daun. Apabila beruntung, ada teman yang memiliki kaset artis tersebut sehingga saya bisa pinjam dan bawa pulang. Dulu, lirik lagu biasanya dicetak di sampul kaset dan saya akan mencatatnya di buku tulis supaya bisa dihafalkan.

Hiburan lain bagi saya adalah menulis. Sepertinya dulu saya senang sekali menulis cerita dengan alur yang sungguh tidak jelas. Kebanyakan temanya adalah tentang beberapa orang remaja yang mencoba menyelidiki kasus yang terjadi di sekolah mereka. Bisa dikatakan bahwa saya cukup terpengaruh oleh buku-buku yang sering saya baca di masa kecil, seperti Lima Sekawan dan STOP.

Pada tahun-tahun sekolah, saya hampir tidak pernah pergi ke pusat perbelanjaan atau tempat wisata. Sebagai homebody sejati, saya lebih suka tinggal di rumah dan menyibukkan diri sendiri dengan membaca, menulis, mendengarkan musik, atau sesekali menonton televisi. Baru ketika memasuki masa kuliah dan mulai punya tambahan penghasilan sendiri, saya lebih sering untuk bepergian ke mall, menonton bioskop, atau ke luar kota bersama teman-teman kuliah.

Internet pada saat itu bukanlah bagian penting dari kehidupan. Saya cuma mengakses internet di lab kampus untuk mengerjakan tugas kuliah atau di warnet untuk mengunduh buku dan musik atau membaca berita. Media sosial seperti Friendster dan Facebook baru muncul menjelang tahun-tahun akhir kuliah dan fungsinya sebatas untuk korespondensi dengan kawan-kawan lama. Tidak ada transportasi online, tidak ada toko online, tidak ada telepon seluler yang terhubung dengan internet. Telepon seluler saat itu hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirimkan SMS.

Apabila dibandingkan dengan kondisi saat ini, kehidupan sebelum Internet terasa balanced dan damai. Tidak ada tuntutan dan desakan untuk selalu terhubung dengan dunia maya, seperti sekarang ketika telepon seluler menjadi gawai yang tidak pernah lepas dari genggaman. Ponsel dengan koneksi internet dan berbagai mobile applications di dalamnya, membuat garis antara dunia nyata dan dunia maya semakin tidak tampak. Aplikasi messengers, e-mail, internet browsers, dan berbagai media sosial dalam ponsel membuat kita chronically online. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak lepas dari tangan kita secara tidak langsung mengubah cara hidup dan cara kerja kita.

Walaupun saya menyadari, banyak hal positif yang dibawa oleh teknologi ini terutama dalam memberikan kemudahan dan convenience dalam kehidupan sehari-hari, saya juga merasakan dampak negatifnya terutama terkait dengan worklife balance. Menurut saya, aplikasi messengers bukanlah sarana komunikasi dan koordinasi yang tepat untuk urusan pekerjaan. Meskipun praktis, grup WhatApp tidak seharusnya digunakan untuk berkoordinasi karena seringkali kita kehilangan konteks atas suatu topik, terutama apabila anggota group sangat banyak dan orang-orangnya sangat aktif. Selain itu, mengirimkan pesan melalui aplikasi messenger mendorong kebiasaan untuk selalu updated dan fast response. Meskipun sekilas tampak positif, hal ini justru meresahkan karena membuat kita sulit untuk berkonsentrasi dalam bekerja karena distraksi selalu muncul setiap saat.

Kembali lagi pada premis tulisan ini tentang kehidupan sebelum Internet… apakah saya merindukan masa-masa sebelum Internet menguasai kehidupan kita? Sangat. Saya pikir, tidak ada salahnya untuk sesekali menghabiskan waktu dan sepenuhnya present di dunia nyata. Matikan ponsel, matikan koneksi internet, lalu menghilang dari dunia maya.

Got something to say?