Oleh-Oleh dari Semarang

Sekitar awal bulan Juni 2023, bertepatan dengan long weekend, saya pergi ke kota Semarang untuk sejenak melarikan diri dari kehidupan nyata.

Saya berangkat pagi sekali dari rumah naik Commuter Line menuju stasiun Tanah Abang, kemudian dari sana melanjutkan perjalanan naik ojol menuju Stasiun Senen. Sekitar pukul sepuluh kurang lima menit, Kereta Tawang Jaya Premium meninggalkan Stasiun Senen menuju tujuan akhir Stasiun Tawang Semarang. Hampir tujuh jam waktu yang ditempuh, dan pada pukul lima kurang lima belas menit saya tiba di Stasiun Semarang.

Tidak banyak waktu yang tersisa hari itu untuk mulai menjelajahi kota Semarang, karena begitu saya tiba di hotel yang terletak di kawasan Simpang Lima, senja mulai turun. Malam itu, saya hanya keluar untuk membeli makan malam dan berkeliling sebentar di pusat perbelanjaan yang terletak di lantai dasar hotel. Seporsi nasi hangat dan asem-asem daging serta minuman rasa sarsaparilla masuk perut saya. Asem-asem daging pun saya nobatkan sebagai salah satu makanan terenak yang pernah saya makan. Empuknya daging sapi berpadu dengan manisnya paprika potong dan tomat hijau asam, diguyur dengan kuah bercita rasa asam manis sungguh nikmat dilahap.

Keesokan harinya setelah sarapan, saya mengunjungi Lawang Sewu yang letaknya berada persis di samping hotel tempat saya menginap. Pagi itu lumayan banyak pengunjung yang datang ke Lawang Sewu walaupun tidak sampai membuatnya berjubel. Cuaca sangat cerah dan suhu udara cukup menyengat kulit untuk ukuran pagi hari, tapi di dalam bangunan lawang sewu yang punya banyak pintu dan jendela hawa terasa sejuk dan nyaman. Reputasi Lawang Sewu yang katanya angker menurut saya sebenarnya tidak beralasan sama sekali. Pada siang hari yang terang benderang, dengan dinding dicat putih, pintu kayu dicat coklat tua dan dinding keramik dengan motif vintage, bangunan ini justru sangat indah dipandang mata

Lawang Sewu sebelumnya merupakan gedung kantor perusahaan kereta api pertama di Indonesia, Spoorweg Nederlandsch Indische Maatschappij (NIS), yang beroperasi pada tahun awal tahun 1900an. Gedung Lawang Sewu mulai dibangun pada tanggal 27 Februari 1904 dan selesai pada bulan Juli 1907. Lawang Sewu terbagi menjadi 3 gedung utama, dimana dua gedung diperuntukkan sebagai kantor dan satu gedung menjadi tempat pencetakan tiket kereta. Sebagian besar material yang digunakan diimpor dari Eropa, begitu pula ornamen dan dekorasi yang menghiasi bangunan ini diproduksi oleh seniman dan tukang dari Belanda. Stained glass atau kaca berwarna yang terletak di jendela gedung utama merupakan salah satu atraksi utama yang menjadi daya tarik Lawang Sewu yang menggabungkan unsur kereta api yaitu roda dan budaya lokal berupa flora fauna serta motif batik.

Keberadaan bekas kantor perusahaan kereta api ini sekaligus menjadi petunjuk bahwa stasiun pertama yang ada di Indonesia dibangun di kota Semarang. Adapun jalur kereta api pertama yang dibangun berjarak sepanjang 209 kilometer pada tahun 1873, menghubungkan kota Semarang, Solo, dan Yogyakarta, serta Ambarawa. Pembangunan jalur kereta di Jawa Tengah dipengaruhi oleh kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda atas komoditas kopi, karet, kina, cokelat, kapas, pala, lada, dan sebagainya. Hasil panen perlu didistribusikan dengan segera menggunakan sistem transportasi yang cepat dan efisien.

Pembangunan jalur kereta api tidak hanya terbatas di wilayah Jawa Tengah, tetapi meluas hingga ke Jawa Timur, Madura, Sumatera, dan Sulawesi. Pada tahun 1939, jalur kereta yang telah dibangun di Indonesia mencapai jarak sepanjang 6811 kilometer. Sayangnya, setelah era pendudukan Jepang, panjang jalur kereta api menyusut sebanyak hampir 1000 kilometer karena hancur ataupun dibawa ke Burma/Myanmar untuk membangun rel kereta api di sana.

Kini, Lawang Sewu menjadi salah satu aset milik PT. Kereta Api Indonesia dan dimanfaatkan sebagai gedung pameran, sekaligus galeri sejarah perkeretaapian di Indonesia. Di sana, kita bisa menemukan berbagai benda peninggalan sejarah kereta api di Indonesia seperti karcis, peta jalur kereta api, mesin pencetak karcis, dan lain sebagainya.

Hari mulai siang dan saya mulai lapar, matahari semakin terasa terik dan panas menyengat kulit. Saya pun meninggalkan Lawang Sewu untuk menuju toko lumpia yang lumayan terkenal di Semarang. Sayangnya, tempatnya sangat ramai pengunjung dan saya susah menemukan tempat duduk. Akhirnya saya banting setir ke sebuah kafe kecil di kawasan Pleburan untuk beristirahat, ngadem, ngemil, sambil ngelamun. Beruntung siang itu tidak banyak pengunjung yang datang sehingga saya bisa agak berlama-lama di sana.

Dengan cuaca panas kota Semarang hari itu, saya memutuskan untuk kembali ke hotel walaupun sebelumnya sempat berencana untuk jalan-jalan di kawasan kota lama. Saya pikir kurang enjoyable rasanya kalau harus berjalan agak jauh di bawah terik matahari yang sangat garang seperti ini.

Pada sore harinya, selepas maghrib, saya menuju kawasan pecinan untuk mengikuti walking tour dengan tema sejarah komunitas tionghoa di kota Semarang. Bersama teman-teman baru yang juga curious dan senang berjalan kaki, kami mengunjungi beberapa kuil, bangunan dengan gaya arsitektur cina, serta pasar. Kami mengakhiri walking trip malam itu dengan berbelanja aneka jajanan di pasar Johar Baru.

***

Sumber: Museum Kereta Api Lawang Sewu

Got something to say?