Mengeluh

Ada kalanya saya merasa seperti orang yang tidak bisa bersyukur, terutama saat saya mengeluh.

Sering saya mengeluhkan hal-hal yang mungkin dianggap remeh banyak orang, misalnya orang yang menyerobot antrean, pengendara kendaraan yang mengebut dan ugal-ugalan di jalan seperti tidak kenal batas kecepatan aman, pengendara yang menyalakan lampu jarak jauh sehingga mengganggu pandangan orang lain, tumpukan sampah di pinggir jalan, orang yang membakar sampah di pekarangan, orang lewat yang dengan entengnya membuang sampah di depan rumah, orang yang berdiri diam di sisi kanan eskalator, dan masih banyak lagi.

Selain yang urusannya dengan kelakuan orang lain, saya juga sering merasa sedih kalau melihat ekosistem tempat saya berada. Di kota tempat saya tinggal (Jakarta coret), banyak sudut kota yang tidak bersih, jalan depan rumah saya bising dan ramai kendaraan bermotor karena dijadikan jalan akses penghubung menuju Bintaro, bau sampah yang sering tercium setelah hujan deras, ketiadaan channel untuk melaporkan dan menindaklanjuti pelanggaran ketertiban dan kenyamanan lingkungan. Mata saya sepet melihat pemandangan jelek di sepanjang jalan dari stasiun menuju rumah. Jalanan tikus sempit, jelek dan bergelombang tapi penuh dengan polisi tidur, sesekali ada mobil egois yang lewat sehingga menghalangi laju kendaraan kecil, banyak orang membakar sampah di pinggir jalan menyebabkan kepulan asap menyebar kemana-mana, belum lagi jalan yang padat kendaraan pribadi dan macet. Saya harus berkutat dengan hal ini setiap harinya.

Saya juga capek karena saya harus bangun pagi sekali dan kembali di rumah ketika hari sudah gelap. Tiga belas hingga lima belas jam dalam sehari harus saya dedikasikan untuk urusan pekerjaan dan transportasi, setelah dikurangi tujuh delapan jam untuk tidur tidak banyak waktu tersisa dalam sehari bagi saya untuk melakukan kegiatan lain. Ingin sekali saya melakukan kegiatan lain yang menyenangkan di luar urusan pekerjaan dan bersih-bersih. Saya ingin punya waktu luang di pagi atau sore hari untuk berolahraga, saya ingin bersiap-siap ke kantor dengan santai dan tidak tergesa-gesa. Saya kesal karena ketepatan waktu sifatnya mutlak, karena terlambat bangun 10 menit saja saya harus bertemu dengan kepadatan dan kemacetan di perjalanan dan tambahan waktu perjalanan menuju kantor. Saya kesal karena hujan yang turun di sore hari membuat sistem transportasi menjadi lumpuh dan perjalanan pulang ke rumah membutuhkan tambahan waktu yang tidak sedikit.

Di Indonesia, terutama di kota-kota besar, sebagian besar penduduknya harus hidup dengan cara seperti ini sehari-hari. Saya paham bahwa banyak orang yang kesehariannya jauh lebih buruk dari apa yang saya alami, misalnya harus menempuh waktu berjam-jam di jalan yang macet di bawah hujan deras. Para kurir yang harus berkendara jauh sekali setiap harinya sambil membawa barang bawaan yang berat, pada driver ojol yang harus berada di atar kendaraan sehari penuh untuk mengumpulkan poin, rupiah demi rupiah untuk menyambung hidup. Saya tahu mereka semua sedang berjuang dan menghadapi tantangan serta kesulitannya setiap hari tanpa kenal lelah. Saya paham betul bahwa apa yang saya alami tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka, apa yang saya miliki seharusnya membuat saya bersyukur.

Tapi haruskah demikian? Tidak bolehkah saya menginginkan perubahan karena kondisi saya sekarang relatif lebih beruntung dibandingkan orang lain? Mengapa harus adu nasib dulu untuk menyampaikan aspirasi? Saya mau perbaikan kondisi ini bukan untuk diri saya sendiri tapi untuk semua orang.

Saya pernah membaca sebuah buku tentang Stoicism, yang pada intinya adalah membangun pola pikir serta perilaku atas kehidupan dimana kita bisa membedakan apa saja yang berada dalam kendali kita dan mana yang berada di luar kendali kita. Dengan bisa membedakan dua hal itu, kita bisa lebih fokus dan mencurahkan energi pada apa yang berada dalam kendali kita sendiri. Prinsip yang bagus secara teori, tapi rasanya kok saya masih sulit untuk menjalankannya. Mengapa harga yang harus dibayar sangat mahal untuk hidup dengan nyaman di sini?

Apa mungkin saya harus pindah dari kota besar menuju desa kecil yang terletak di daerah pegunungan yang sejuk, jauh dari keramaian dan hiruk pikuk? Mungkin saya bisa lebih bahagia di sana.

Got something to say?