Happiness Project

Setelah sekian puluh tahun menjalani hidup, saya mulai merasakan bahwa dunia dan kehidupan mulai terasa hampa dan pointless. Semakin sulit untuk merasakan kebahagiaan ketika kita mengetahui bahwa dunia dan kehidupan tidak baik-baik saja. Sepercik kebahagiaan rasanya tidak cukup bagi saya. Kebahagiaan tak ubahnya kesemuan belaka, rapuh, berlangsung sangat singkat sebelum lenyap dalam sekejap mata. Saya pun bertanya-tanya mengapa sekarang saya menjadi manusia seperti ini?

Personality traits. Dugaan pertama saya, hal ini mungkin ada pengaruhnya dari watak saya yang sering overthinking dan skeptis sehingga susah menemukan dan menerima kebahagiaan begitu saja tanpa sebab yang jelas. Pun, ketika saya menyadari bahwa momen menyenangkan sangat rapuh dan hanya berlangsung singkat seiring dengan bergulirnya waktu. Karena sifat ini pula saya sering merasa bahwa suatu small win tidak patut untuk di-acknowledge apalagi dirayakan.

Surrounding energy. Teori berikutnya, saya perlu merasakan energi dari orang lain untuk mendapatkan validasi atas apa yang saya rasakan, apakah perasaan senang dan bahagia yang saya alami pantas untuk saya rasakan. Seharusnya saya tidak semudah ini membiarkan apa yang terjadi di sekitar saya–pendapat orang lain, perilaku orang lain, kejadian yang saya alami–menentukan dan menguasai emosi yang saya rasakan.

Flood of negative information. Selanjutnya, pikiran saya sudah tercemar oleh polusi energi negatif dari dunia maya, khususnya dari portal berita maupun media sosial. Berbagai kabar negatif bertebaran di sekitar saya: berita tentang perselingkuhan, tentang korupsi pejabat, tentang kebijakan publik yang merugikan masyarakat, tentang ketidakbecusan pemerintah negara ini, tentang opini jelek politikus, dan masih banyak lagi. Sebenarnya konyol ya, mengapa saya begitu terpengaruh pada hal-hal yang tidak secara langsung mempengaruhi hidup saya?

Pada intinya, berbagai faktor memiliki kontribusi dalam membentuk mindset saya saat ini yang mudah sekali moody, negative thinking, reaktif, bahkan judgmental terhadap hal-hal yang tidak terlalu saya pahami. Lambat laun, tanpa saya sadari, berlapis-lapis kerak sudah menyelimuti hati saya dan kini sudah sekeras batu, membuatnya tidak mudah untuk tersentuh. Jangan mengira hal ini tidak menguras energi. Sungguh saya capek merasakannya.

Kemudian pekan lalu saya membaca sebuah twit menarik, bunyinya begini:

big secret to happiness is just liking stuff. finding more stuff to like. finding ways to like stuff you didn’t before. recognizing what it feels like to like something and doubling down on that. what feels frivolous is actually the whole ballgame ~ @lauren_wilford

Saya termenung membaca twit singkat ini. Hmmm… sepertinya ada benarnya. Karena terlalu terbiasa dengan negativity, dan lebih mudah untuk melindungi diri dengan sifat skeptis dan apatis, saya tidak lagi bisa mengapresiasi hal-hal kecil di sekitar saya. I take many beautiful things for granted. Twit di atas mengingatkan saya untuk berhenti sejenak dan mengosongkan pikiran, menghapuskan prasangka dan melepaskan kacamata yang selama ini saya kenakan. Lalu pusatkan perhatian pada hal-hal positif di sekitar saya, tak peduli walaupun hanya secuil dan setitik.

Untuk itu, saya akan memulai kategori baru dalam blog ini yaitu My Likes, sebagai bagian dari Happiness Project. Post dengan kategori My Likes akan membicarakan hal-hal menyenangkan–tak peduli seberapa mundane–yang membuat hati saya senang dan bahagia, yang selama ini saya abaikan.

Got something to say?