Explore Banyuwangi: dari Nasi Tempong hingga Kawah Ijen

Long weekend pertama di bulan Mei 2024, saya bersama 2 orang sahabat saya berlibur ke Banyuwangi, Jawa Timur. Kami berencana untuk mengunjungi beberapa destinasi yang cukup banyak dikunjungi wisatawan belakangan ini, antara lain hutan trembesi de Djawatan, Taman Nasional Baluran, dan Kawah Ijen.

Dari tiga destinasi tersebut, sebenarnya hanya hutan trembesi de Djawatan yang terletak di Banyuwangi. Taman Nasional Baluran berada di wilayah administrasi Kabupaten Situbondo, di sisi utara Banyuwangi, sedangkan Kawah Ijen merupakan bagian wilayah Kabupaten Bondowoso yang terletak di sisi barat Banyuwangi.

Kami berangkat dari Jakarta pada pagi hari sekitar pukul 9 dan tiba sebelum tengah hari di bandara Banyuwangi. Setelah bertemu dengan tour guide yang akan menemani kami selama 2 hari ke depan, kami pun meninggalkan bandara menuju rumah makan untuk makan siang.

Menu kami siang itu adalah nasi tempong yang merupakan salah satu kuliner khas Banyuwangi. Nasi tempong terdiri dari nasi hangat, berbagai sayuran, protein (ayam/ikan/udang), ikan asin goreng kering dan sambal. Yang khas dari nasi tempong adalah sayurannya yang direbus/dikukus dan sambalnya yang diulek halus dengan aroma kuat perasan jeruk limau. Asam, manis, pedas dan segar. Usai makan, energi kami kembali terisi untuk memulai perjalanan ke destinasi pertama: de Djawatan.

Hutan Trembesi de Djawatan. Hutan de Djawatan terletak di wilayah Benculuk Banyuwangi, jaraknya sekitar 45 – 60 menit perjalanan mengendarai mobil dari bandara. Hutan ini awalnya merupakan milik perusahaan/djawatan kereta api di era penjajahan Belanda (hence the name), kemudian beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan kayu jati milik Perhutani sebelum akhirnya dibersihkan dan disulap menjadi tempat wisata. Sebagaimana namanya, kawasan ini dipenuhi dengan barisan rapi pohon-pohon trembesi yang menjulang tinggi dan rindang dengan dahan pohonnya yang meliuk-liuk membentuk payung raksasa, menciptakan keteduhan. Melihat ukurannya, dapat diperkirakan bahwa pohon-pohon trembesi ini sudah hidup selama ratusan tahun. Kami tidak berhenti terlalu lama di sini, setelah mengambil beberapa foto kami pun melanjutkan perjalanan ke Baluran.

Taman Nasional Baluran. Kami meninggalkan de Djawatan sekitar pukul 13.30 dan tiba di Baluran sekitar pukul 16.00. Taman Nasional Baluran merupakan wilayah konservasi yang mempertahankan habitat dan ekosistem asli kawasan untuk kebutuhan penelitian maupun wisata. Dengan luas wilayah lebih dari dua ratus ribu hektar, kawasan ini dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan peruntukannya. Bagi wisatawan, tersedia jalur kendaraan dari pintu gerbang pengunjung yang mengarah ke Pantai Bama. Di sepanjang jalan, kami dapat melihat padang rumput luas dengan latar belakang gunung Baluran, gunung Merapi Ungub-Ungub, dan Gunung Meranti dari kejauhan. Sore itu cuaca sangat cerah dan langit biru. Kami bermobil pelan-pelan menuju pantai. Sesekali kami melihat kawanan rusa tengah beristirahat di bawah pohon, kawanan kerbau yang berkubang di lumpur, dan sekumpulan kera mengawasi pengunjung lalu lalang. Beberapa kali kami mendengar suara ayam hutan dari kejauhan walaupun tidak bisa melihat wujudnya. Kami menunggu hingga matahari tergelincir di balik gunung sebelum meninggalkan Baluran dan kembali ke Banyuwangi.

Kawah Ijen. Sekitar pukul 00.00 kami dijemput oleh tour guide dari hotel untuk berangkat ke Ijen. Sekitar satu setengah jam waktu yang ditempuh untuk mencapai basecamp pendakian yang disebut dengan Paltuding. Di sana kami menunggu sekitar setengah jam untuk mempersiapkan diri sebelum mendaki. Sebelum pukul dua, bersama pemandu kami, kami mendekati pintu gerbang pendakian. Langit gelap dan jumlah pengunjung lumayan banyak, semuanya tampak tak sabar untuk memulai perjalanan mereka.

Jalur pendakian bagi saya cukup sulit dan menantang, berkali-kali saya harus berhenti untuk menarik nafas dan mengumpulkan tenaga hingga saya tertinggal cukup jauh dari rombongan. Sudut kemiringan relatif tinggi dan curam, sungguh menguras tenaga. Berkali-kali saya didahului oleh pendaki lainnya sehingga agak menciutkan semangat, tapi tidak jarang pula saya bisa menyalip beberapa pendaki yang juga beristirahat sejenak. Saya terharu, pemandu saya tetap setia menemani dan tidak henti-hentinya menyemangati. Setelah melewati pos enam, jalur yang tersisa tidak lagi terlalu curam, tapi aroma belerang mulai menguat. Masker pun mulai saya kenakan.

Setelah mencapai puncak kawah, kami harus berebut untuk bisa masuk ke jalur menurun menuju lokasi blue fire. Karena jalur cukup sempit dan gelap kami harus berhati-hati melangkah supaya tidak terpeleset. Saya sudah tidak peduli lagi pada waktu, yang penting saya tidak berhenti berjalan. Di depan saya, saya bisa melihat kalau jalur menurun masih panjang tapi saya tidak mau berpikir terlalu jauh apalagi mengkhawatirkan bagaimana nanti saya kembali. Sekali lagi, yang penting kaki tetap melangkah maju.

Sekitar pukul empat lewat sedikit, akhirnya saya tiba di lokasi blue fire. Banyak orang berkerumun dan mengelilinginya supaya bisa melihat lebih dekat dan mengabadikan momen tersebut dengan kamera. Setelah mengambil beberapa foto, saya beristirahat di belakang. Rasanya puas sekaligus tidak percaya kalau saya bisa mencapai tempat itu walaupun dengan susah payah. Kami sholat subuh di sana dan mengobrol sebentar dengan sesama pengunjung lainnya. Ketika langit mulai terang, kami kembali mendaki untuk kembali ke puncak kawah. Kami mampir sebentar di pos 6 untuk mengistirahatkan kaki, minum kopi dan makan cemilan sebelum memulai turun menuju basecamp.

Kami tiba di Paltuding pada pukul 07.30. Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal pada bapak pemandu, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir kami yaitu Kawah Wurung.

Air Terjun Kalipait dan Kawah Wurung. Kawah Wurung berada di sisi barat Gunung Ijen dan dapat ditempuh sekitar 30 – 40 menit perjalanan naik mobil. Sebelum mencapai Kawah Wurung, kami mampir sebentar di sebuah air terjun kecil bernama Kalipait. Air yang mengalir dari air terjun menuju ke sungai memiliki warna biru dan katanya terasa pahit karena kandungan belerangnya yang tinggi. Tidak heran, karena sumber airnya berasal dari Gunung Ijen yang merupakan tambang belerang.

Di Kawah Wurung, tidak banyak pengunjung yang datang. Matahari bersinar cerah namun semilir angin yang berhembus terasa dingin dan sejuk menerpa kulit. Sensasinya luar biasa bagi saya yang terbiasa dengan udara panas dan menyengat. Kami mendaki 200 anak tangga menuju puncak bukit lalu berhenti sejenak sambil menikmati hamparan pemandangan indah di sekeliling kami. Sebelum matahari terlalu tinggi, kami pun meninggalkan Kawah Wurung dan kembali ke Banyuwangi. Semangkok rujak soto dan segelas es cendol menjadi pamungkas perjalanan kami hari itu.

Catatan:

  1. Untuk mengunjungi tempat-tempat wisata di Banyuwangi dan sekitarnya tanpa kendaraan pribadi sendiri, disarankan untuk menyewa jasa tour/open trip.
  2. Biaya untuk trip selama dua hari ke lokasi di atas adalah sekitar 1.500.000 hingga 2.000.000 rupiah tergantung pada jumlah peserta dan akomodasi penginapan yang dipilih.
  3. Sebelum mendaki ke Ijen, pastikan istirahat yang cukup pada hari sebelumnya karena perjalanan dimulai pada dini hari.
  4. Di Ijen, banyak orang menawarkan jasa gerobak untuk mengantar pengunjung yang tidak kuat menanjak. Biayanya saat ini berkisar antara 1 juta hingga 2 juta rupiah untuk perjalanan bolak-balik dan bisa ditawar. Sebaiknya informasikan pada pemandu apabila anda membutuhkan jasa gerobak supaya bisa disiapkan dari awal.
  5. Demi menjaga keamanan, disarankan untuk membawa trekking pole untuk membantu menopang badan dan menjaga keseimbangan.
  6. Bawa barang bawaan secukupnya supaya tidak terlalu membebani perjalanan. Untuk perjalanan mendaki dan menurun, satu botol air minum ukuran sedang dan sebungkus kudapan tinggi energi sudah cukup untuk mengisi tenaga.
  7. Toilet tersedia di pos 6, sebaiknya dimanfaatkan sebelum perjalanan menuju kaldera dan blue fire daripada kebingungan mencari tempat buang air.

Got something to say?