Menjaga Suasana Hati

Saya orangnya gampang frustrasi. Penyebabnya bisa dari luar maupun dalam. Dari luar biasanya karena mengalami kejadian tidak menyenangkan seperti sinyal internet lemah, antrian diserobot orang, mendengar suara klakson yang bertubi-tubi. Kalau disebutkan, sepertinya hal-hal itu bukanlah sesuatu yang layak dijadikan alasan frustrasi atau irritated, ya? Selain itu, tanpa alasan yang jelas saya juga bisa mendadak feeling blue. Meskipun sudah diulik-ulik, tidak jelas juga apa penyebabnya.

Sejak pulang kembali ke Indonesia di tahun 2016, saya mengalami gegar budaya. Kehidupan yang serba teratur dan tenang di Melbourne harus berakhir dan saya dicemplungkan kembali di pusat keramaian di Jakarta. Kembali pada kemacetan, udara panas dan lembab, polusi udara, kebisingan, ketidakteraturan dan kekacauan lainnya. It was overwhelming.

Lalu saya membeli rumah dan memutuskan untuk pindah ke sana. Sejak pindah rumah, saya semakin sering mengalami emosi jiwa. Saat masih ngekos di Jakarta jarak kos – kantor tidak sampai 7 kilometer dan ada fasilitas bus jemputan, jadi saya tinggal duduk manis saja tanpa perlu berdesak-desakan naik kendaraan umum. Sejak pindah ke rumah sendiri mau tak mau saya harus naik kendaraan umum, belum lagi harus menghadapi kemacetan jalan raya yang semakin tidak masuk akal.

Setiap pukul lima empat lima pagi saya sudah meninggalkan rumah untuk berangkat ke kantor. Saya naik motor yang saya parkir di dekat stasiun, lalu lanjut naik KRL dari menuju stasiun Palmerah. Waktu tempuh KRL kurang lebih tiga puluh menit. Dari Palmerah saya harus menyambung perjalanan dengan bus Trans Jakarta, transit di halte JCC dan keluar di halte LIPI. Perlu waktu total sekitar satu jam bagi saya untuk pergi ke kantor dalam kondisi lancar. Tentu saja waktu tempuh tersebut bisa bertambah apabila KRL terlambat datang atau mengalami kendala lain atau bila bus TransJakarta yang ditunggu tidak datang-datang. Sore hari biasanya waktu tempuh akan lebih lama karena kondisi jalanan yang lebih macet.

Penyebabnya karena kekecewaan. Tidak tertib, tidak teratur, kualitas pelayanan minim.

Butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri. Hingga saat ini pun saya masih belum bisa benar-benar santai menghadapi itu semua, walaupun saya tahu banyak dari hal-hal tersebut yang berada di luar kendali saya, misalnya ibu-ibu yang beringas, atau bapak-bapak yang tidak mau antre dengan benar. Saya masih belum ikhlas dan cenderung menyalahkan mereka semua, menyalahkan keadaan. Marah-marah sendiri tapi tidak diungkapkan ke luar. Saya tahu hal itu malah semakin memperburuk keadaan, tapi kalau dipendam sendiri kok rasanya lama-lama bikin eneg juga.

Semakin lama pun saya merasa semakin hopeless dengan humanity. Mengapa manusia tidak bersikap seperti manusia?

Got something to say?