Black Pepper

Pada suatu sore di bulan Februari, seekor anak kucing tampak sedang meringkuk di depan sebuah rumah. Usianya tak lebih dari dua bulan, warnanya selegam arang.

Jalan di depan rumah itu tidak lebar, tapi ramai akan kendaraan yang lalu lalang. Tidak jarang kendaraan-kendaraan itu melaju dengan kecepatan tinggi dan suara mesin yang memekakkan telinga, menghamburkan asap kelabu. Si kucing hanya makin merapatkan tubuhnya ke tembok pagar. Ketakutan.

Entah sudah berapa lama kucing mungil itu berada di sana. Matahari mulai tenggelam, dan hari mulai gelap. Dia seorang diri, induk dan saudara-saudaranya entah berada di mana. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi pagi dia masih menyusu dari induknya dan bergulat dengan saudara-saudaranya, tapi mendadak dia dibawa pergi dan ditinggalkan begitu saja di tempat yang asing baginya.

Meskipun lapar dan kedinginan, dia tidak berani mengeluarkan suara. Matanya memandang lurus ke arah jalanan, tidak tahu apakah dia harus meminta bantuan atau berlindung. Sekilas ia melihat seekor kucing jantan dewasa mengawasi dari kejauhan, satu ekor lagi tampak sedang mengais-ngais tumpukan sampah, mencari secuil makanan sisa. Si anak kucing makin murung. Tapi dia masih belum berani bersuara.

Sebuah bus besar melintas, dan berhenti di hadapannya. Beberapa orang wanita turun dari pintu depan. Si anak kucing hanya memperhatikan gerak-gerik mereka. Salah satu dari wanita itu berjalan membuka pagar. Tanpa sengaja tatapan mata mereka bersirobok. Wanita itu lantas menghampirinya dan menunduk. Membelai punggungnya.

How long have you been here, little thing?

Si kucing kecil tidak menjawab. Tapi tangan-tangan yang semula membelainya kini meraup dan mengangkatnya.

You must be hungry. I have some kitten food for you.

2 comments

Got something to say?