Lebih Dari Sekadar Romansa

Sebuah postingan dengan tema rada basi…

Sudah agak lama saya nggak nonton film, padahal: (a) kalau sedang niat bisa lho ngebabat habis serial tipi sampai 3 season sekaligus; (b) tahun ini rencana nonton banyak film Indonesia di bioskop, tapi ternyata malah sudah melewatkan banyak film bagus. Setelah gak jadi nonton Rectoverso dan Madre pun belum ketonton sampai sekarang, ujung-ujungnya long wiken kemarin malah nonton Habibie dan Ainun.

Habibie_Ainun_Poster
image taken from id.wikipedia.com

Saya pikir semuanya sudah tau yah apa yang diceritakan dalam film ini, tentang romantika hubungan BJ Habibie yang selama ini kita kenal sebagai seorang tokoh cendekiawan Indonesia dengan istri tercintanya, Hasri Ainun, sejak awal pertemuan mereka hingga Ainun sakit dan meninggal dunia. Saya pikir juga nggak perlu kita bahas lagi bagaimana briliannya akting Reza Rahardian dalam memerankan Habibie, karena semuaaanya mirip dengan Habibie, cara bicaranya, cara jalannya, bahkan cara tertawanya. Hanya satu yang nggak mirip: mukanya.

Film ini lebih dari sekadar kisah cinta biasa, selain dihanyutkan oleh romantisme dan perjuangan penuh suka duka dari Habibie dan Ainun, kita juga dibawa dalam pusaran arus sejarah. Sebagai generasi remaja 90-an, saya masih ingat pada event-event yang terjadi pada waktu itu: peluncuran pesawat N-250, krisis moneter, runtuhnya orde baru, kemerdekaan Timor Timur, dan segala tetek bengek reformasi. Dalam Habibie dan Ainun kita melihat sisi lain dari peristiwa-peristiwa tersebut, kita memandang semua itu dari kacamata seorang Habibie.

Saya ikut merasa bangga saat pesawat N-250 diluncurkan sebagai produk teknologi karya anak bangsa sendiri. Saya turut merasakan konflik yang harus dihadapi oleh Habibie saat harus menggantikan posisi Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, apa yang dilakukannya ketika Timor Timur menuntut kemerdekaan. Hati saya ikut hancur ketika akhirnya hasil karya besar Habibie–yang ia bangun dengan penuh keyakinan, idealisme, dan sangat menghabiskan tenaga, waktu dan pikiran–harus mangkrak dan berhenti dikembangkan.

Tidak hanya itu, dari film ini pula saya memahami kekuatan seorang wanita terutama dalam perannya sebagai pendamping pria. Dari luar mungkin seorang wanita tampak berperangai lembut dan keibuan, nyaris tidak tampak karena terhalang bayang-bayang suaminya. Tetapi sesungguhnya di balik itu ditunjukkan kepada kita bagaimana intuisi Ainun meluruskan jalan Habibie dan membuka pikirannya, bagaimana kekuatannya menopang dan menguatkan Habibie saat lemah, bagaimana juga ia merelakan waktu dan pikiran suaminya jauh lebih tercurah untuk perkembangan teknologi negara. Walaupun pada akhirnya pengorbanan itu terasa sia-sia ketika pengembangan N-250 harus dihentikan (eh ini udah bisa jadi naskah pidato di hari Kartini kayaknya…)

Long story short, film ini lebih dari sekadar romansa.

23 comments

Got something to say?